Thursday, July 17, 2008

Sebuah tanggapan

Beberapa hari yang lalu, ayah saya tiba-tiba mengirimkan SMS pada saya. Beliau mengajak saya untuk membaca sebuah artikel dari rubrik opini kompas. Artikel tersebut ditulis oleh Gede Prama seseorang yang dikatakan dalam tulisan itu sebagai seseorang yang tinggal di desa Tajun, Bali utara dan tinggal di Jakarta, yang juga pernah menjadi salah satu CEO perusahaan jamu Indonesia dan salah seorang public speaker maupun motivator

Dalam tulisan itu, dibahas tentang kehidupan manusia di dunia ini, terutama pada abad 21, bagaimana manusia dengan begitu banyak keinginannya selalu berusaha untuk meraih apapun yang ia inginkan, namun selalu terbentur dengan semakin banyaknya masalah dan rintangan yang ia hadapi ketika ia hendak menggapai hal tersebut.

There are No Such a free lunch. Adalah salah satu hal dalam ilmu ekonomi yang merupakan salah satu aksioma tinggi dalam ilmu ini yang diakui oleh semua orang. Ya... memang ketika kita ingin menjadi atau mendapatkan lebih, maka kita harus mengorbankan hal yang lebih pula. Ketika zaman dan meningkatnya kemampuan manusia yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, permasalahan di dunia ternyata tidak selesai, ternyata tindakan manusia di dunia ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sebagai manusia, namun juga untuk memenuhi keinginan dari nafsu manusia yang hampir tiada batasnya. Semakin maju suatu bangsa, semakin rumit permasalahan yang dihadapinya, semakin tidak puas mereka atas apa yang mereka dapatkan.

Tulisan Gede Prama tersebut disatu sisi hanyalah sebuah pengingat yang membuat kita meyunggingkan senyum pahit tentang keadaan dunia yang kita warisi saat ini. Gede Prama mengingatkan kita bahwa manusia sudah sangat keterlaluan saat ini, dan ia mengharapkan manusia untuk kembali menyelaraskan kehidupannya dengan alam.

Namun, Gede Prama disini, kurang menyadarkan kita semua, bahwa apa yang kita sebagai manusia dapatkan saat ini, berbagai kemajuan yang kita alami, semuanya juga ada biayanya. Kerusakan alam itu adalah biaya atas segala kemajuan yang kita dapatkan. Tidak mungkin manusia dengan segala keinginan, nafsunya serta diiringi akal yang luar biasa bisa hidup dan berkembang tanpa melakukan pengrusakan. Sangat naif jika ia mengatakan kita bisa hidup saat ini selaras dengan alam tanpa melakukan pengrusakan terhadap alam dan hal lainnya.

Gede Prama memang menyadarkan kita tentang bagaimana kita telah menyengsarakan dunia dan alam yang kita huni ini. Namun, kita juga harus mengingat bahwa memenuhi keinginan dalam diri adalah kodrat manusia, tugas manusia adalah menjaga supaya tingkat sustanabilitas antara manusia dan alam yang pasti dieksploitasi oleh manusia tetap terjaga, dan kita tetap bisa mengimpikan untuk mewariskan dunia yang sama baiknya dengan yang kita huni ini ke anak-cucu kita.

Busway, solusi publik atau masalah bagi publik?

Belakangan, memang busway telah menjadi salah satu sarana transportasi publik yang cukup populer, terlepas dari segela kontroversi tentangnya. Kalau kita melihat kembali kebelakang, akan kita dapatkan beberapa fakta menarik tentang angkutan unik yang satu ini.
Busway yang koridor satunya ini mulai beroperasi pada tahun 2004, pada awalnya diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kemacetan yang ada di Jakarta. Namun, dalam perkembangannya, Busway bukannya menjadi solusi dari permasalahan kemacetan yang ada, namun malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri..
Wah... wah.... kalau dipikir-pikir kenapa ya hal seperti ini bisa terjadi?. Apa yang salah? Bukankah pembangunan busway ini pada awalnya adalah dengan niat baik, untuk mengurangi kemacetan kota jakarta. Mungkin ada baiknya, kalau kita sejenak berpikir dengan cara yang simpel namun sistematis tentang permasalahan kemacetan di Kota Jakarta tercinta ini.

Pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah, siapa penyebab utama kemacetan di Jakarta? Pertanyaan kedua yang harus dijawab adalah, kenapa si penyebab macet terus menerus menyebabkan macet tanpa mau berhenti menyebabkan macet? Pertanyaan ketiga adalah, bagaimana membuat orang yang suka bikin macet itu tidak membuat macet lagi?..

Untuk pertanyaan pertama, hampir semua orang setuju bahwa pengguna terbesar jalan raya di Jakarta adalah kendaraan pribadi (Mungkin butuh data statistik dari departemen perhubungan untuk membuktikannya lagi). Nah, untuk pertanyaan kedua, kita harus mengetahui dulu, apa sih yang diinginkan oleh para pengguna kendaraan pribadi itu? Setelah melakukan pembicaraan dengan beberapa teman yang suka menggunakan kendaraan pribadi ketika ke kampus, maupun kemana saja, dari sampel kecil itu diambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa mereka yang memilih menggunakan kendaraan pribadi berpendapat bahwa ’saya mampu untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan lebih dengan menaiki kendaraan pribadi, dan itu merupakan hak saya’. Disini terlihat bahwa orang-orang tersebut ingin keamanan dan kenyamanan yang lebih.

Setelah mengetahui kenapa hal tersebut terjadi, sekarang kita memikirkan, kenapa mereka tidak mau meninggalkan kendaraan pribadi mereka dan menggunakan kendaraan umum. Jawabannya sebenarnya sangat singkat, bahwa kendaraan umum saat ini, sekalipun busway yang ditujukan untuk mengurangi kemacetan tidak dapat mengakomodasi kepentingan mereka-mereka yang menggunakan kendaraan pribadi akan kenyamanan apalagi keamanan. Pertanyaan yang kemudian akan timbul adalah : bukannya busway berusaha memberikan kenyamanan lebih dengan fasilitasnya?

Kalau berbicara soal fasilitas kita sekarang bisa melihat bahwa busway yang pada awalnya memiliki fasilitas yang bagus sekarang mulai menurun performanya, bisa dilihat pada koridor 1 yang dulu punya fasilitas yang sangat bagus, sekarang sudah banyak lampu yang putus dan pecah, shelter-shelter yang tak terawat dan belum lagi jumlah antrian yang luar biasa banyaknya. Kalau keadaan-nya seperti ini, bagaimana mungkin orang-orang yang berkendaraan pribadi mau pindah ke Busway.

Dari permasalahan diatas, coba kita soroti saja satu hal, yaitu tentang antrian luar biasa yang terjadi pada Busway terutama pada jam sibuk. Apa yang menyebabkannya. Secara teori ekonomi sederhana, kita sama-sama tahu ketika demand terhadap suatu barang sudah terlalu tinggi dan si produsen selaku sisi supply tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal bagi konsumen, ini merupakan indikasi adanya Excess Demand (Kelebihan Demand) yang disebabkan oleh barang tersebut dijual pada harga terlalu murah, sehingga konsumen membludak.

Kalau kita perhatikan, ketika tarif busway seharga Rp 3500, kita bisa melihat realita bahwa orang beramai-ramai untuk pindah ke busway, permasalahannya adalah, apakah orang-orang yang berpindah ke busway itu adalah sasaran dari busway itu sendiri. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa semenjak adanya busway, banyak terlihat angkutan umum seperti Metro Mini dan kawan-kawannya yang sepi penumpang. Ternyata dengan kebijakan harga tersebut, bukannya membuat orang-orang yang memakai kendaraan pribadi pindah ke Busway, malah membuat orang-orang yang tadinya naik metro mini dan lain-lain pindah ke Busway, karena memberikan value lebih daripada metro mini dengan harga yang relatif masih terjangkau. Keadaan keramaian dan over demand ini mengakibatkan pelayanan busway semakin parah.

Sebenarnya keadaan ini tidak harus terjadi seandainya departemen perhubungan terutama manajemen transjakarta sendiri tahu ekonomi dan mengerti dengan baik pemasaran dan segmentasi dari produk(busway) mereka. Dengan penetapan harga yang lebih tinggi (memerlukan penelitian lebih lanjut tentang tingkat harga lebih tinggi yang sesuai), sebenarnya akan membuat demand terhadap busway turun, pendapatan naik, dan tentunya pelayanan terhadap masyarakat membaik dan membuat orang-orang yang tadinya hanya ingin menggunakan kendaraan pribadi pindah ke busway. Dengan harga yang tinggi, busway tentunya akan lebih lengang, nyaman dan aman, sehingga orang yang tadinya rela bermacet di jalan di dalam mobilnya rela pindah ke busway, karena terbukti memang cepat dan jarang macet dan tentunya mereka tetap mendapatkan kenyamanan bertransportasi bersama busway.