Wednesday, April 23, 2008

Mengapa Tidak Altrusitik

Jika mengamati fenomena politik belakangan ini, ada suatu hal menarik yang sebenarnya tak umum terjadi, namun sekarang menjadi hal yang sangat umum terjadi. Belakangan ini kita melihat bagaimana para politisi saat ini telah kehilangan suatu sifat yang sebenarnya bagi mereka sangat penting, yaitu menjadi altruistik atau bahasa anak mudanya, Jaga Image, menjaga pandangan baik orang lain terhadap diri sendiri.

Menjadi Altruistik sebenarnya adalah hal yang mutlak bagi seorang publik figur, dalam hal ini seorang politisi-pun harus bisa memposisikan dirinya sebagai orang yang baik atau sekurangnya terlihat baik dan akan memenuhi kepentingan masyarakat atau konstituennya.

Namun, fenomena-fenomena terakhir memperlihatkan bahwa para politisi sama sekali tidak terkesan untuk menjaga imagenya di masyarakat. Sekarang-pun terlihat bahwa para politisi hanya mempunyai visi jangka pendek saja, dengan bertindak sepuasnya sebagai seorang Politisi yang mungkin kini tengah berkuasa dan hampir tidak memikirkan konstituennya di masa yang akan datang. Sustainabilitas mereka sebagai politisi akan terancam, karena walaupun mereka bisa mengoptimalkan previlege yang mereka miliki sebagai penguasa saat ini, namun kemungkinan terpilih di masa yang akan datang akan lebih kecil.

Keadaan ini tentunya akan menguntungkan bagi segolongan kecil dari politisi yang tetap menjadi altruistik Sedikit saja menunjukkan kebaikan dengan memperlihatkan diri mereka bersih, atau jujur, maka akan mendokrak popularitas dengan luar biasa, karena politisi lain tidak berlaku seperti itu.

Pertanyaannya adalah, kenapa mereka berbuat seperti itu, apa motivasi mereka, apa mungkin si politisi ini tidak ingin untuk terpilih lagi? Apa sistem perpolitikan di negeri ini yang membuat sebagian politisi melakukan hal irasioanl seperti ini?

Sunday, April 20, 2008

Pikiran Manusia

Beberapa golongan manusia selama ini selalu berpikir bahwa akal dan pikiran merupakan sebuah alat ampuh untuk menjelaskan segala hal yang berada di sekeliling dirinya. Fenomena-fenomena alam, kejadian sosial dan berbagai kejadian di muka bumi diyakini mampu dijelaskan dengan akal dan pikirannya.

Keadaan ini mulai mendominasi kehidupan manusia, terutama di kalangan urban, sehingga mereka melihat segala sesuatu dengan akal pikiran. Dan, segala sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan alat tersebut dikatakan “irational”. Keadaan ini membuat saya tertarik mencoba memikirkan, apakah benar, akal itu sangat berguna untuk menjelaskan berbagai hal dan menginformasikan pada kita bahwa hal-hal yang di luar sistematika tersebut adalah suatu hal yang tidak benar. Atau singkatnya, segala hal yang tidak bisa diilmiahkan itu salah.

Akal mereject hal-hal yang berbau mistis dan sejenisnya. Namun, terdapat sebuah keadaan ironis disini, dimana bukti empiris tidak selamanya konsisten mereject keberadaan hal-hal mistis tersebut.

Suatu hal yang menarik dalam sejarah manusia adalah dimanapun peradaban manusia berada, pasti terdapat suatu hal yang berbau mistisme, padahal peradaban-peradaban itu terpisah berjuta-juta kilometer, dan mungkin tidak ada hubungan antara peradaban tersebut.

Di Rumania ada mitos tentang Count Dracula from Transylvania, the Flying Dutchman di Eropa, Rubah di Jepang, Kuntilanak dan sebangsanya di Asia Tenggara dan berbagai macam hal berbau mistis lainnya. Kalau memang hal tersebut sebenarnya bohong, kenapa dimanapun manusia berada pasti memiliki mitos-mitos seperti hal tersebut.

Apa hal ini bisa dikatakan sebagai kebohongan karena hal ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah??? Sedangkan disisi lain, faktanya keberadaan hal tersebut diyakini keberadaannya oleh masyarakat manapun didunia dengan versi yang berbeda. Bagaimana mungkin hal yang bohong diyakini oleh hampir seluruh peradaban yang telah ada didunia, sedangkan peradaban itu mungkin tidak pernah bertemu sebelumnya.

Mungkin ini adalah sedikit dari bagian yang tidak bisa dijelaskan oleh akal manusia. Dalam pembentukan model untuk menjelaskan berbagai hal, jika hanya menggunakan nalar, mungkin akan meninggalkan disturbance term (Error) yang cukup besar, karena banyak hal yang mungkin tidak bisa dijelaskan hanya oleh akal. Donald B. Calne, seorang Neurologist dari University of British Columbia dalam bukunya Within reason: Rationality and Human Behaviour hendak menjelaskan pada kita bahwa akal itu hanya merupakan sebuah Tools yang digunakan dalam proses berfikir kita. Masih banyak tools lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan berbagai macam hal: naluri, Agama, kearifan lokal dan hal lain sebagainya yang terkadang dianggap non-sense oleh si akal sendiri, ternyata punya kemampuan tersendiri untuk menjelaskan hal-hal tersebut.

Tapi permasalahannya, apakah ada kemungkinan akal untuk terus bekerja selaras dengan tools lain yang terkadang saling bertentangan dan menghancurkan satu sama lainnya, walaupun di lain kesempatan mereka saling melengkapi. Dan ketika perbenturan antar tools itu terjadi, akan ikut kemanakah kita?

Siap tahu perkembangan ilmu dan kearifan manusia kita mungkin akan memberi jawabannya..

Sunday, April 06, 2008

Beragama itu sangat Rasional

Syahdan, suatu siang ada seorang sufi yang sedang duduk-duduk menghindari panasnya matahari dibawah pohon beringin, kedatangan seorang pemuda yang sedang berusaha mencari tahu jawaban atas kebingungannya, tentang berbagai macam hal dalam kehidupan ini. Ketika melihat ada seorang sufi yang katanya terkenal bijak dalam menghadapi berbagai persoalan, ia kemudian menghampiri sufi itu dan kemudian mengajaknya berdiskusi.

“Salam, selamat siang wahai sufi, apa gerangan yang anda lakukan disini seorang diri saja”, kemudian sang sufi menjawab, “Sedang berlindung dari panasnya dunia sobat, ragaku tidak lagi setangguh ragamu sekarang. Aku lagi memikirkan bagaimana nanti setelah aku wafat, bagaimana tentang sesuatu setelah kita mati”.


Hal itu memancing si pemuda tadi bertanya, “ hai Sufi, kenapa kamu beragama, sampai sekarang, saya tidak menemukan alasan rasional kenapa kita harus beragama, tidak ada bukti keberadaan tuhan bagi saya, mempercayai tuhan akan costly kalau begitu, tidak ekonomis. Terlalu banyak versi tuhan yang ditawarkan oleh berbagai kepercayaan membuat saya bingung.”

Si sufi balik bertanya, “told me, katakan pada saya kenapa sesuatu itu bisa kamu bilang tidak rasional”. Kemudian si pemuda tadi berkata, “Ada beberapa hal yang tidak bisa saya percayai tentang agama, karena saya adalah orang yang rasional, terutama tentang; Kenapa saya harus percaya hari akhir sedangkan sampai sekarang belum ada buktinya. Belum pernah ada orang mati yang balik lagi kan, dan bilang tentang diapakan dirinya didalam kubur, versi ajaran mana yang benar atau tidak ada yang benar sama sekali”.

Sambil tersenyum sang sufi menjawab, “katanya lu rasional ya, masa gitu aja gak tahu jawabannya he.. he.. “. Si pemuda menyerang balik sang sufi, “Buktikan rasional pada saya!!!”.

Kemudian si sufi berkata balik dengan santainya, “Anda rasional, pasti sangat menyukai suatu hal yang fakta dan menyadari tentang probabilita atau kemungkinan dari sesuatu yang tak pasti. Kemudian sang sufi mengambil ranting kayu dan mulai menggambar di tanah, seperti ini gambarnya,

Keterangan diagram:

  • Choice of Faith = Kepercayaan yang dipilih seseorang

  • Truly Fact = Keadaan sebenarnya yang mungkin terjadi

  • 0 = Tidak ada keuntungan apa-apa.

  • - (~) = kerugian sebesar-besarnya hingga tak terhingga (masuk neraka)

  • ~ = Keuntungan besar yang sangat tak terhinga (masuk surgra

“Begini anak muda, karena anda rasional, kita berasumsi sekarang dan menganggap bahwa ada kemungkinan salah satu agama itu benar, kalau salah satu benar, berarti yang lain salah semua, begitukan, yang dikatakan oleh agama-agama itu?”, iya benar, sahut si pemuda.

“Nah, permasalahannya sekarang anak muda, kalau kita mau meminimalkan resiko kita dan mengoptimalkan hal yang bisa kita peroleh, kita akan melakukan diversifikasi kan, nah masalahnya disini, ketika memilih suatu kepercayaan kita tidak akan bisa memilih kepercayaan lain, jadi resiko kesalahan tidak bisa kita minimalisir he.. he.... Kalau sesuatu yang kita pilih sebagai kepercayaan itu salah, maka tamatlah kita... begitu kan yang ada di pikiran lu”.

“Nah, diagram keputusan yang akan lu hadapi, simpelnya akan seperti diatas, dengan asumsi lu memandang semua pilihan itu punya kesempatan benar yang sama, seperti rasionalitas lu, iya kan!!!. Ketika kamu beragama, seandainya kepercayaan yang kamu peluk itu benar, maka masuk surga lah kamu tapi seandainya salah, yang benar adalah kepercayaan lain, maka masuk neraka lah kamu, tapi kalau ternyata kepercayaan itu gak ada yang benar, maka kamu gak akan untung dan rugi juga, ya kan?”.

Nah, ayo kita analisa masing-masing pilihannya, dengan asumsi ada 6 kepercayaan, kalau ada lebih atau kurang tinggal menyesuaikan aja lah;


  1. Memilih tidak percaya atau tidak beragama:

    Kemungkinan 0 = 1/7

    Kemungkinan ~ = 0/7

    Kemungkinan - (~) = 6/7

  2. Memilih percaya kepercayaan A, atau B, C , D , E , F :

    Kemungkinan 0 = 1/7

    Kemungkinan ~ = 1/7

    Kemungkinan - (~) = 5/7

“Bisa lu lihatkan, rugikan lo, kalau gak punya agama, kalau gak punya agama lo gak punya kesempatan masuk surga, betul gak?? he.. he..., kalau lu rasional, pasti lu optimalin kepuasan buat diri lo kan, kalaupun lo gak percaya full ama kepercayaan, lu pengen buat ngecilin kemungkinan lu buat di siksa kan - (~). Disiksa gak enak lo, dan semakin besar kemungkinan disiksa lo, maka gw bilang semakin tidak rasional diri lo. he.. he.. Ternyata, lo selama ini gak rasional karena keputusan lo aja nyusahin diri lo he... he...

Lalu si pemuda berkata, “wah.. mbah, bener juga ya, beragama pun mengurangi probabilita kita disiksa, digoreng diakhirat seandainya kepercayaan itu benar, tapi mbah, saya harus percaya yang mana ya??”

Si Sufi berkata, “itu up to u lah, itu semua keputusan lo sebagai manusia, mungkin lo bisa mempelajari ajaran mana yang menurut lo prospektif sesuai dengan rasionalitas lo tadi he.. he.. hidup ini cuma pilihan, berhati-hatilah lu dalam hidup lo, jangan sampai lu menyesal di kemudian hari, udah ya anak muda, gw mau tidur dulu capek nih”.

Si anak muda pun tertawa tentang betapa naifnya dirinya selama ini, dan terus berjalan mencari kebenaran bagi dirinya